Pendidikan, Ojol, dan Mentri

“Saya sedih dengan realita yang ada, seperti di meme yang ada di internet terkait jalan karir anak muda di Indonesia, dari SD, SMP, SMA dan setelah lulus dia jadi ojek driver. Sedih, tapi itulah realitas.”

Sebuah pernyataan yang sebenarnya biasa saja dilontarkan dalam sebuah forum ekonomi nasional. Ya, siapa saja berhak sedih kan? Hanya saja, ketika pernyataan itu dilontarkan oleh seorang calon presiden di tahun politik menjelang pemilu tahun 2019, sudah tentu akan digoreng habis-habisan. Dan sudah bisa ditebak akan ada 2 kubu: kubu yang menilai kalau sang calon presiden merendahkan profesi ojek, dan kubu lainnya yang beranggapan tidak merendahkan profesi tertentu.

Dalam tulisan ini saya bukan mau membahas kubu mana yang benar. Sudah banyak orang yang lebih ahli yang menulis dan menilai siapa yang benar atau salah. Dalam tulisan ini saya lebih tertarik pada hubungan antara tingkat pendidikan seseorang dan profesi yang dianggap pantas untuk disandang orang tersebut. Apakah memang masih relevan untuk menilai posisi yang pantas untuk seseorang dari tingkat pendidikan formal orang tersebut?

Kalau memang masih relevan, lalu bagaimana dengan seorang yang tidak tamat SMA, tapi ditunjuk menjadi mentri? Dan seiring perjalanan waktu, orang tersebut menjadi mentri yang dihormati di dalam negri, dan disegani di dunia internasional. Tentu semua tahu siapa yang saya maksud: Ibu Susi Pudjiastuti.

Saya memang bukan orang yang percaya bahwa pendidikan semata akan menjadi standar untuk menentukan pekerjaan seseorang. Ketika melakukan wawancara di dunia korporasi, pendidikan adalah hal kesekian yang saya lihat. Yang saya cari adalah orang-orang yang memiliki karakter dan prilaku yang tepat. Dalam hal ini, bahkan tingkat pendidikan S2 pun tidak menjamin kalau seseorang memiliki karakter dan prilaku yang cocok untuk dunia pekerjaan.

Hasil bincang-bincang dengan beberapa orang baik yang memiliki usaha sendiri dan bekerja untuk dunia korporasi juga sama, kalau saat ini sangat sulit mencari orang yang memiliki karakter dan prilaku yang cocok. Dan karakter yang dicari juga tidak muluk-muluk: ulet, jujur, tepat waktu, dan mau berkembang dan belajar. Salah satu teman saya bahkan bilang kalau sudah 1 bulan ini dia masih belum berhasil untuk mengisi lowongan di sebuah rumah makan yang dia kelola.

Dan kalau dilihat, selain tingkat pendidikan, karakter dan prilaku ini adalah kesamaan antara Ojol yang sukses dan Ibu Mentri. Mereka pekerja ulet dan jujur, menjalankan pekerjaannya dengan penuh tanggung jawab. Istilahnya, tidak neko neko.

Jadi, kembali ke pertanyaan diatas, apakah masih relevan untuk memakai pendidikan formal untuk menentukan profesi yang pantas? Dari pengalaman saya dan beberapa teman, juga kenyataan di lapangan, jawabannya TIDAK. Setidaknya, sampai ada perbaikan di sistem pendidikan kita.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.