Tentang PKL dan Jalan Jatibaru

Sejak Pemerintah Daerah Jakarta mengumumkan penataan kawasan Tanah Abang di awal bulan Desember 2017, dengan penutupan Jalan Jatibaru dari jam 6:00 hingga 18:00, saya sebenarnya berharap-harap cemas. Saya berharap semoga penutupan Jalan Jatibaru dilakukan sama seperti jalan di samping Museum Fatahillah, dan Jalan Pasar Baru. Kedua jalan tersebut ditutup dan dijadikan jalan khusus pejalan kaki, dengan toko dan restoran yang tertata dengan baik.

Setelah pada akhirnya penutupan Jalan Jatibaru terlaksana, ternyata harapan saya tidak menjadi kenyataan. Yang terjadi ternyata jauh dari harapan seperti Jalan Museum Fatahillah atau Pasar Baru. Alih-alih jadi rapi dan nyaman, yang terjadi adalah kesemwarutan baik pasar maupun jalan sekitar Jalan Jatibaru. Pagi ini saya melewati jalan laternatif yang membutuhkan waktu 15 menit lebih lama. Dan sore hari, saya memilih bersama dengan pengemudi lainnya untuk menunggu di mulut Jalan Jatibaru yang akan dibuka menjelang jam 6. Seperti yang diduga, setelah Jalan dibuka, sumpah serapah yang keluar dari pengemudi yang lewat.

Lalu, apa dong solusinya?

Sebagai pengguna kereta dan pengendara kendaraan bermotor yang cukup sering melewati Jalan Jatibaru, bukan sebagai ahli tata kota, saya pikir ada beberapa opsi yang patut dipikirkan:

  1. Tutup Jalan Jatibaru secara permanen, seperti Jalan Pasar Baru dan Jalan Museum Fatahillah. Buatkan kios atau lapak untuk pedagang, dengan uang sewa yang sesuai. Pengelolaan bisa dilakukan oleh PD Pasar Jaya. Masalahnya disini adalah jalan alternatif yang tidak mumpuni. Tapi ya, kalau hasilnya bagus seperti Jalan Pasar Baru, saya rela deh.
  2. Relokasi PKL dan tindak tegas PKL yang membandel. Bisa? Ya bisa dong, seperti jaman Gubernur sebelumnya. Lalu, alasan Gubernur yang baru adalah untuk keterberpihakan pada wong cilik. Lah, trus gimana dong dengan pengguna jalan dan kereta api, yang notabene juga ada wong cilik-nya?
  3. Atau, buat jembatan penyebrangan orang (JPO) dari Stasiun Tanah Abang menuju Pasar Tanah Abang.

Buat saya, opsi nomor 3 yang lebih masuk akal.Bukankah di luar negeri juga banyak stasiun transportasi masal yang tergabung dengan pusat perbelanjaan?

Pertama, jalanan lebih lancar karena tidak ada orang yang nyebrang di jalan. Dan karena tidak ada yang nyebrang di jalan, mudah-mudahan PKL-nya pindah sendiri. Kedua, pengunjung stasiun juga bisa memanfatkan parkir di pasar Tanah Abang, dan sambil jalan, bisa mampir belanja di toko-toko di pasar.

Setuju? Tidak setuju? Atau ada ide lain yang lebih baik?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.